Kamis, 25 April 2013

SUMPAH PEMUDA DIPENGHUJUNG CERITA



Oleh: Firman el-faruq
Aktivis Gerakan Mahasiswa Pembebasan Sultra

            Di Tahun 1928, tepatnya di penanggalan 28 Oktober  adalah tonggak persatuan para pemuda Indonesia, dimana ditandai dengan berkumpulnya para pemuda dari berbagai belahan bumi pertiwi, yang semula bersifat kedaerahan menjadi ingin bersatu membentuk satu deret kata yang bernama “Indonesia”. Mereka memiliki perasaan yang sama, yaitu sama-sama dijajah oleh bangsa Belanda, yang saat ini hukumnya dalam bentuk KUHP kita ambil dan kita pakai menjadi konstitusi bangsa yang katanya telah meredeka ini, padahal sejatinya dijajah tanpa sadar dalam berbagai bidang kehidupan.
Sumpah Pemuda begitulah istilah yang sangat tenar dalam kosa kata para mahasiswa dan pelajar dewasa ini ketika mereka bernostalgia tentang masa lalu para founding father mereka, yang telah mengikrarkan tiga semboyang suci yang seolah-olah sakral dan sakti, yaitu satu tanah air tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, dan berbahasa satu yaitu bahasa Indonesia. Kesakralan dan kesaktianya pun mulai luntur seolah dimakan oleh usia, padahal umurnya belum sampai seabad, lebih lama penjajahan Belanda, ketika mengerogoti negeri Zamrud Khatulistiwa ini dan mengangkut kekayaan alamnya ke Den Haag Belanda selama 3,5 abad lamanya.
Para penjajah Belanda tentunya  bukan tanpa alasan membiarkan para pemuda dan pemudi negeri ini untuk mengikrarkan sumpah pemuda, karena sumpah pemuda ini akan menguatkan semangat Nasionalisme dalam dada generasi kita saat itu. Ikatan nasionalisme ini adalah salah satu jenis ikatan yang rendah nilainya, muncul karena naluri mempertahankan diri, dan pada saat mendapatkan ancaman dari pihak luar tetapi ketika situasinya aman dan terkendali ikatan ini pun sirna seketika, begitulah kata Al Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam bukunya Nidzhomul Islam (Peraturan Hidup dalam Islam). Semangat Nasionalisme inilah yang menonjol dalam ikrar sumpah pemuda tersebut, sehingga umat Islam yang menjadi komponen terbanyak di Republik ini menjadi lupa akan problematika utamanya untuk bersatu dengan saudara-saudaranya dari berbagai belahan bumi yang lain disaat bersamaan mengalami nasib serupa, untuk membentuk suatu adidaya baru yang bernama Khilafah setelah keruntuhanya ditahun 1924 untuk kemunculannya yang pertama. Sekat nasionalisme inipun menjadikan mereka lebih peduli dengan negerinya masing-masing dan jauh dari persatuan global. Jadi, wajar jika penjajah tidak mencegah diucapkannya sumpah “semu” itu, karena semua itu adalah buah politik mereka, yaitu  devide et impera, pecah belah dan jajahlah. Suatu semboyang yang dipraktekan bangsa kolonial takala merampok negeri ini, dan semangat kebencian mereka terhadap Islam begitu membara sehingga mereka dengan wajah tersenyum melihat para pemuda-pemudi bangsa yang telah mereka jajah mengambil ide busuk mereka. Itulah konsep Nasionalisme, Patriotisme, Nation State, yang sebenarnya adalah merusak tatanan ummat Islam
Tinta Sumpah Pemuda pun kian luntur, ikrar yang katanya satu tanah air, malah kemudian terpecah belah saat ini, Papua bergejolak dengan OPM-nya (Organisasi Papua Merdeka), bumi Maluku mengeliat dengan RMS-nya (Republik Maluku Selatan), Timor-Timur lepas dari pangkuan Ibu Pertiwi, dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) bisa diredam dalam tanda tanya besar. Katanya adalah satu bahasa, malah banyak orang tidak tau menggunakan bahasa Indonesia, karena gagalnya pendidikan dinikmati oleh semua kalangan masyarakat. Pendidikan adalah barang langka bagi masyarakat kelas pinggiran lebih langka ketimbang BBM (sama aja kali langka-nya).
Sekarang sumpah pemuda hanya sekedar cerita masa lalu yang telah usang oleh masa, kesaktian dan kesakralannya pun tidak teruji, malah wilayahnya makin digerogoti dan terancam upaya disintegrasi besar-besaran. Sebagai generasi muda yang peduli, mahasiswa dan pelajar harus berada di garda terdepan mewujudkan kebangkitan yang hakiki, agar NKRI (nanti akan jadi Negara Khilafah Rasyidah Islamiah, Insya Allah) ini tidak menjadi susut tetapi malah menjadi super power dunia, apa bisa? itulah kesangsian hampir 240 juta penduduk negeri ini terhadap semangat kebangkitan yang digelorokan. Sudah saatnyalah sumpah pemuda yang diinspirasi oleh ide yang jauh dari nilai kebenaran dari dzat yang maha benar seperti ide nasionalisme, patriotisme, dan nation state ditanggalkan untuk diganti dengan sesuatu sumpah yang berarti yang bisa menjadi saksi takala kematian datang menjemput.
Setetes embun penghapus dahaga gersangnya perjalanan negeri Indonesia yang katanya telah merdeka selama 67 tahun, muncul gagasan Revolusioner dan solutif dipenghujung tahun 2009, tepatnya tanggal 18 Oktober, bertempat di Depan Hall Basket Senayan Jakarta, lebih 5000  mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia tumpah ruah mengikrarkan sumpah suci dalam agenda Spektakuler Kongres Mahasiswa Islam Indonesia. Sumpah pemuda telah gagal itulah kata yang pantas kita lantunkan dan teriakan, sudah saatnya ummat manusia diatur dengan aturan yang adil dari dzat yang maha adil, sudah saatnya masyarakat negeri ini dari Sabang sampai Merauke merasakan kekayaan alamnya yang telah dikaruniakan oleh Allah SWT, setelah berpuluh tahun lamanya dirampok dan dikuras oleh bangsa penjajah.  
Sumpah yang diikrarkan dalam kegiatan Kongres Mahasiswa Islam Indonesia tersebut adalah bukti kesungguhan untuk menata Indonesia yang lebih baik, dan negeri muslim lainnya sehingga mampu menjadi pengayom dunia dengan menerapakan aturan yang terbaik, yaitu Syariat Allah dalam bingkai yang bernama Khilafah. Sumpah ini pula akan menjadi bukti di hadapan Allah SWT akan semangat yang membara dan komitmen yang kuat setelah menyaksikan kehancuran Indonesia dan dunia pada umumnya ketika diatur dengan sistem sekuler baik berbentuk Kapitalis-Demokrasi maupun Sosialis-Komunis. Lembaran cerita bangsa akan ditutup oleh mahasiswa dan pelajar negeri ini dengan suatu sikap optimisme yang kuat untuk berjuang tanpa kenal lelah, seperti pernyataan seorang kepercayaan Muhammmad Al-Fatih ketika sebelum penaklukan Kota Konstantinopel disaat mereka kesusahan untuk menaklukan tembok kota tersebut, dia menyatakan bahwa “kita telah memulainya, maka wajib bagi kita untuk menuntaskannya”. Semangat terus pantang menyerah sebelum tegak Khilafah, pantang berhenti meniti jalan kebajikan ini sebelum kaki berpijak di Surga-Nya. Wallahu alam bi-ashawab.

1 komentar: