Oleh: Firman
el-faruq
Aktivis Gerakan
Mahasiswa Pembebasan Sultra
Di Tahun 1928, tepatnya di penanggalan 28 Oktober adalah tonggak persatuan para pemuda
Indonesia, dimana ditandai dengan berkumpulnya para pemuda dari berbagai
belahan bumi pertiwi, yang semula bersifat kedaerahan menjadi ingin bersatu
membentuk satu deret kata yang bernama “Indonesia”. Mereka memiliki perasaan
yang sama, yaitu sama-sama dijajah oleh bangsa Belanda, yang saat ini hukumnya dalam
bentuk KUHP kita ambil dan kita pakai menjadi konstitusi bangsa yang katanya
telah meredeka ini, padahal sejatinya dijajah tanpa sadar dalam berbagai bidang
kehidupan.
Sumpah
Pemuda begitulah istilah yang sangat tenar dalam kosa kata para mahasiswa dan
pelajar dewasa ini ketika mereka bernostalgia tentang masa lalu para founding father mereka, yang telah mengikrarkan
tiga semboyang suci yang seolah-olah sakral dan sakti, yaitu satu tanah air tanah
air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, dan berbahasa satu yaitu bahasa
Indonesia. Kesakralan dan kesaktianya pun mulai luntur seolah dimakan oleh
usia, padahal umurnya belum sampai seabad, lebih lama penjajahan Belanda, ketika
mengerogoti negeri Zamrud Khatulistiwa ini dan mengangkut kekayaan alamnya ke
Den Haag Belanda selama 3,5 abad lamanya.
Para
penjajah Belanda tentunya bukan tanpa
alasan membiarkan para pemuda dan pemudi negeri ini untuk mengikrarkan sumpah
pemuda, karena sumpah pemuda ini akan menguatkan semangat Nasionalisme dalam
dada generasi kita saat itu. Ikatan nasionalisme ini adalah salah satu jenis
ikatan yang rendah nilainya, muncul karena naluri mempertahankan diri, dan pada
saat mendapatkan ancaman dari pihak luar tetapi ketika situasinya aman dan
terkendali ikatan ini pun sirna seketika, begitulah kata Al Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam bukunya Nidzhomul Islam (Peraturan Hidup dalam
Islam). Semangat Nasionalisme inilah yang menonjol dalam ikrar sumpah pemuda tersebut,
sehingga umat Islam yang menjadi komponen terbanyak di Republik ini menjadi
lupa akan problematika utamanya untuk bersatu dengan saudara-saudaranya dari
berbagai belahan bumi yang lain disaat bersamaan mengalami nasib serupa, untuk
membentuk suatu adidaya baru yang bernama Khilafah setelah keruntuhanya ditahun
1924 untuk kemunculannya yang pertama. Sekat nasionalisme inipun menjadikan
mereka lebih peduli dengan negerinya masing-masing dan jauh dari persatuan
global. Jadi, wajar jika penjajah tidak mencegah diucapkannya sumpah “semu”
itu, karena semua itu adalah buah politik mereka, yaitu devide
et impera, pecah belah dan jajahlah. Suatu semboyang yang dipraktekan
bangsa kolonial takala merampok negeri ini, dan semangat kebencian mereka
terhadap Islam begitu membara sehingga mereka dengan wajah tersenyum melihat para
pemuda-pemudi bangsa yang telah mereka jajah mengambil ide busuk mereka. Itulah
konsep Nasionalisme, Patriotisme, Nation
State, yang sebenarnya adalah merusak tatanan ummat Islam
Tinta
Sumpah Pemuda pun kian luntur, ikrar yang katanya satu tanah air, malah
kemudian terpecah belah saat ini, Papua bergejolak dengan OPM-nya (Organisasi
Papua Merdeka), bumi Maluku mengeliat dengan RMS-nya (Republik Maluku Selatan),
Timor-Timur lepas dari pangkuan Ibu Pertiwi, dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka)
bisa diredam dalam tanda tanya besar. Katanya adalah satu bahasa, malah banyak
orang tidak tau menggunakan bahasa Indonesia, karena gagalnya pendidikan dinikmati
oleh semua kalangan masyarakat. Pendidikan adalah barang langka bagi masyarakat
kelas pinggiran lebih langka ketimbang BBM (sama aja kali langka-nya).
Sekarang
sumpah pemuda hanya sekedar cerita masa lalu yang telah usang oleh masa,
kesaktian dan kesakralannya pun tidak teruji, malah wilayahnya makin digerogoti
dan terancam upaya disintegrasi besar-besaran. Sebagai generasi muda yang
peduli, mahasiswa dan pelajar harus berada di garda terdepan mewujudkan
kebangkitan yang hakiki, agar NKRI (nanti akan jadi Negara Khilafah Rasyidah
Islamiah, Insya Allah) ini tidak menjadi susut tetapi malah menjadi super power dunia, apa bisa? itulah
kesangsian hampir 240 juta penduduk negeri ini terhadap semangat kebangkitan
yang digelorokan. Sudah saatnyalah sumpah pemuda yang diinspirasi oleh ide yang
jauh dari nilai kebenaran dari dzat yang maha benar seperti ide nasionalisme,
patriotisme, dan nation state
ditanggalkan untuk diganti dengan sesuatu sumpah yang berarti yang bisa menjadi
saksi takala kematian datang menjemput.
Setetes
embun penghapus dahaga gersangnya perjalanan negeri Indonesia yang katanya
telah merdeka selama 67 tahun, muncul gagasan Revolusioner dan solutif
dipenghujung tahun 2009, tepatnya tanggal 18 Oktober, bertempat di Depan Hall
Basket Senayan Jakarta, lebih 5000 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di
seluruh Indonesia tumpah ruah mengikrarkan sumpah suci dalam agenda Spektakuler
Kongres Mahasiswa Islam Indonesia. Sumpah pemuda telah gagal itulah kata yang
pantas kita lantunkan dan teriakan, sudah saatnya ummat manusia diatur dengan
aturan yang adil dari dzat yang maha adil, sudah saatnya masyarakat negeri ini
dari Sabang sampai Merauke merasakan kekayaan alamnya yang telah dikaruniakan
oleh Allah SWT, setelah berpuluh tahun lamanya dirampok dan dikuras oleh bangsa
penjajah.
Sumpah
yang diikrarkan dalam kegiatan Kongres Mahasiswa Islam Indonesia tersebut adalah
bukti kesungguhan untuk menata Indonesia yang lebih baik, dan negeri muslim
lainnya sehingga mampu menjadi pengayom dunia dengan menerapakan aturan yang
terbaik, yaitu Syariat Allah dalam bingkai yang bernama Khilafah. Sumpah ini
pula akan menjadi bukti di hadapan Allah SWT akan semangat yang membara dan
komitmen yang kuat setelah menyaksikan kehancuran Indonesia dan dunia pada
umumnya ketika diatur dengan sistem sekuler baik berbentuk Kapitalis-Demokrasi
maupun Sosialis-Komunis. Lembaran cerita bangsa akan ditutup oleh mahasiswa dan
pelajar negeri ini dengan suatu sikap optimisme yang kuat untuk berjuang tanpa
kenal lelah, seperti pernyataan seorang kepercayaan Muhammmad Al-Fatih ketika
sebelum penaklukan Kota Konstantinopel disaat mereka kesusahan untuk menaklukan
tembok kota tersebut, dia menyatakan bahwa “kita telah memulainya, maka wajib
bagi kita untuk menuntaskannya”. Semangat terus pantang menyerah sebelum tegak
Khilafah, pantang berhenti meniti jalan kebajikan ini sebelum kaki berpijak di
Surga-Nya. Wallahu alam bi-ashawab.
SUbhanallah.
BalasHapus