Saat saya
mengetik tulisan ini, sebenarnya saya dalam kondisi yang sangat sibuk dihimpit dengan jadwal dan
agenda yang begitu padat. Maklumlah, saat ini saya sudah berada di semester
akhir dan pasti
berhadapan dengan makhluk bernama skripsi. Makhluk yang terkadang membuat orang susah tidur, tidak enak
makan, dan buat pikiran kacau
balau.
Terlebih lagi, proses pengerjaan skripsi diiringi dengan suara merdu dari kampung halaman nan jauh disebrang lautan menanyakan kapan kuliahnya selesai? Yang tadinya kita ingin mengerjakan dengan santai-santai saja, setelah pertanyaan kapan selesai kuliah terus disampaikan, serasa diri ini dibebani gunung Kabaena dan Krakatau. Tetapi, kesibukan apapun itu, tidak seharusnya melupakan atau bahkan meninggalkan tugas kita yang utama hidup di dunia ini, yakni beribadah kepada Allah SWT.
Terlebih lagi, proses pengerjaan skripsi diiringi dengan suara merdu dari kampung halaman nan jauh disebrang lautan menanyakan kapan kuliahnya selesai? Yang tadinya kita ingin mengerjakan dengan santai-santai saja, setelah pertanyaan kapan selesai kuliah terus disampaikan, serasa diri ini dibebani gunung Kabaena dan Krakatau. Tetapi, kesibukan apapun itu, tidak seharusnya melupakan atau bahkan meninggalkan tugas kita yang utama hidup di dunia ini, yakni beribadah kepada Allah SWT.
Hal yang berbeda dan sering kita
jumpai saat ini, banyak kaum muslimin hanya karena kesibukan duniawi, mereka
rela untuk meninggalkan kewajibannya sebagai seorang muslim. Mereka bisa betah
berjam-jam di dalam laboratorium dengan tumpukan bahan penelitian, tetapi
menyediakan waktu sepuluh menit untuk sholat terasa begitu berat. Para
mahasiswa rela tidak tidur berhari-hari hanya untuk mengerjakan tugas dari
seorang dosen, tetapi menyediakan waktu dua jam untuk mengkaji islam begitu
sulit. bahkan kita memiliki waktu luang yang begitu banyak untuk bermain game
tetapi begitu berat menyediakan waktu lima menit untuk membaca Al Qur’an.
Itulah manusia
kawan, kita merasa seolah waktu 24 jam yang Allah berikan kepada kita
kurang jika dibandingkan dengan agenda kegiatan yang menumpuk dalam sehari.
Padahal, jika kita
amati dengan teliti terkadang agenda kita tidak lebih adalah kegiatan sampah
yang tidak bernilai apa-apa di hadapan pencipta yang telah menciptakan kita. Olehnya itu, pada
kesempatan ini sepertinya menarik jika dalam tulisan ini saya coba mengangkat tema “budak
dunia”. Pembahasan ini bukan
untuk menggurui, tetapi ini semata-mata
karena penulis ingin menyampaikan apa yang diperintahkan Allah SWT kepada kita
semua. yakni saling nasehat-menasehati dalam kebaikan dan kesabaran. Disamping itu juga, semoga tulisan ini bisa
menjadi bahan muhasabah diri penulis secara
pribadi karena penulispun sadar bahwa diri ini sering diperbudak dan dilenakan oleh dunia. Penulis berharap, ini menjadi amal
ibadah di hadapan Allah SWT. Amin
Perbudakan yang terlupakan
Walaupun
sistem perbudakan manusia sudah hilang dan islam datang untuk menghapuskan perbudakan dan penyembahan kepada manusia,
mengarahkan penyembahan hanya kepada Allah semata. namun saat ini, sadar
atau tidak, kita sedang
menyaksikan di depan mata kita
sebuah episode baru perbudakan manusia dengan tayangan lama dan usang yang coba
dipoles menjadi sesuatu yang begitu berharga namun faktanya adalah
sistem perbudakan yang lebih
sadis dan menjijikkan.
Dengan manusia sebagai budak dan dunia sebagai tuan para budak. Bahkan dalam adegan ini, kerap
menjadikan dunia sebagai tuhan-tuhan baru yang terus disembah.
Lihatlah saat ini,
manusia rela melakukan apa saja hanya untuk mendapatkan sesuatu yang bernama
dunia. Mereka berani berbohong dan menghalalkan segala cara hanya untuk
mendapatkan kursi kekuasaan. Mereka rela menindas manusia hanya ingin mengokohkan
jabatan dan kekuasaan yang selama ini mereka pegang. Mereka rela memakan harta
orang lain hanya karena ingin menaikan status sosialnya di tengah-tengah
masyarakat. Bahkan, mereka rela untuk menggadaikan agamanya hanya karena sebuah
materi dan kemegahan dunia. Mereka menjadikan semua itu sebagai tandingan-tandingan
Allah yang lebih dicintainya, yang kepadanya mereka lebih memberikan perhatian
dan kepadanya mereka lebih merasa bergantung dan tunduk.
“Dan diantara manusia ada
orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan Allah. Mereka mencintainya sebagaimana
mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang beriman amat sangat cintanya kepada
Allah” (TQS al-Baqarah : 165)
Kehidupan modern yang serba bendawi
saat ini, amat mudah membawa kita terjerumus kepada sikap pragmatisme yang
menjadikan kenikmatan jasmani menjadi fokus dari capaian hidup kita. Kita
terkadang lebih memilih kehidupan dunia yang sementara dan melenakan seraya
menggadaikan kehidupan akhirat yang kekal abadi. Padahal Allah SWT berfirman :.
“Tetapi kamu (orang-orang kafir)
memilih kehidupan duniawi, sedangkan kehidupan Akhirat adalah lebih baik dan
lebih kekal” (QS Al A’laa : 16-17)
Itulah mengapa, dalam kitabnya Ibnu al Mubarak ketika menggambarkan antara kehidupan dunia dan
akhirat, Beliau mengatakan “Dunia bagaikan potongan salju, murah harganya dan
cepat mencair. Sedangkan Akhirat bagaikan permata, mahal harganya dan tidak
akan pernah mencair. Bertambahnya zuhud terhadap dunia dan keinginan terhadap
kehidupan akhirat tergantung pada sejauh mana kadar ilmu (pengetahuan) terhadap
perbedaan antara dunia dan akhirat”
Tetapi bukan berarti
bahwa, seorang muslim harus hidup dengan kemiskinan dan kemelaratan. Karena
sesungguhnya Islam tidak melarang memiliki kekayaan yang banyak serta jabatan
dan kedudukan yang tinggi ditengah-tengah masyarakat. Tetapi bagaimana cara
kita mendapatkan harta dan kedudukan tersebut. Apakah semua itu kita dapatkan
dengan jalan yang dihalalkan oleh Allah atau tidak.
Memang, kesalahan
memahami makna zuhud dikalangan kaum muslimpun harus diluruskan. Mereka menganggap
zuhud itu identik dengan kelaparan dan pakaian yang usang yang meninggalkan
kehidupan dunia serta menyukai kehidupan yang sunyi di tempat-tempat terpencil
yang jauh dari keramaian dan interaksi sesama manusia. Padahal tidaklah
demikian. Umar bin Abdul Aziz telah mencontohkan kita bagaimana seharusnya kita
menjadikan dunia hanya ditangan kita dan akhirat di hati.
Semoga kita bisa
menjadi seorang muslim yang tidak terlena oleh kehidupan dunia yang serba bendawi.
Kekayaan dan jabatan yang Allah berikan kepada kita seharusnya menjadikan kita
lebih giat untuk beribadah bukan malah sebaliknya. Karena kita memahami bahwa,
kehidupan dunia ini adalah tempat persinggahan sementara. Dunia ini adalah
jembatan menuju kehidupan yang sesungguhnya. Sehingga kecintaan kita kepada
makhluk tidak bisa mengalahkan kecintaan kita kepada pencipta kecintaan itu
sendiri yang telah menciptakan Alam semesta, manusia dan kehidupan. Dialah
Allah SWT.
“Katakanlah : jika bapak-bapak,
anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, karib keluargamu, harta kekayaan yang
kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah
tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan RasulNya
dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
keputusan-Nya. Dan Allah tidak member petunjuk kepada orang-orang fasiq” (TQS at Taubah : 24)
Saudaraku, kehidupan
dunia ini ibarat sebuah lahan tempat kita menanam yang hasilnya akan kita petik
di akhirat kelak. Tanaman yang baik akan menghasilkan hasil yang baik. Maka
persembahkanlah yang terbaik untuk bekal kita dimasa yang akan datang. Suatu masa
yang pasti akan kita jumpai. Saat itu, setiap jiwa akan dimintai pertanggung
jawaban atas apa yang telah dilakukan di dunia ini. Apakah, timbangan kebaikan
kita lebih berat atau malah timbangan keburukan kita yang lebih berat?. Wallahu
‘alam bishawab. KEN Abdullah Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar