Ada yang menarik dari perbincangan saya
kepada umi saya, kakak-kakak saya, sebagian dari teman dekat saya. Mungkin, ini
sedikit privacy oriented, tidak harus
diceritakan kepada orang lain. Tapi, bukan juga yang harus disembunyikan. Ada “inspiration” yang bisa di ambil. Ada
sedikit semangat baru, ada sedikit tantangan baru, bisa juga cobaan baru. Apa
yang saya alami bisa jadi pernah Anda alami. Bisa jadi juga Anda malas tahu
untuk diperlebar dan diperumit. Kalaupun tidak sama, paling tidak mendekati
mirip.
Apa yang membuat saya menemukan inspirasi
baru termasuk semangat baru ini tidak lepas dari keyakinan mendalam. Keyakinan
yang kuat, kokoh, dan mengakar. Sehingga tidak mudah dipatahkan, apalagi
dimusnahkan. Semoga saja. Amin.
Prinsip saya, Kalau keyakinan sudah
menancap tajam dalam diri, kalau keyakinan itu menjadi paradigma berpikir, dan
tolak ukur kehidupan maka yakinlah inilah yang terbaik dari ketidakjelasan dan
penuh keraguan hidup kita. Dengan begitu, kegalauan
hidup tidak akan bisa menimpa kita. kejelasan atas jawaban persoalan mengapa
kita hidup, untuk apa kita hidup, termasuk mau ke mana setelah hidup akan
membawa kehidupan ini menjadi cerah. Kita tidak akan menemukan kabut hitam yang
gelap, suram dan penuh jebakan yang mengancam. Meski begitu, keterbatasan
manusia tentu seakan mengurangi kelengkapan jalan hidup kita yang cerah itu.
Banyak faktor X atau Y dan mungkin masih banyak lagi yang menimbulkan warna
buram dalam hidup ini.
Sekali lagi, sedikit ingin ditekankan bahwa
masalah yang ingin disampaikan ini mungkin terkesan lucu. Hal ini bagi diri
pribadi. Bagi diri yang masih terbilang “baby
face”alias “muda”. Namun, lagi-lagi bagi kita yang paham akan keyakinan itu
pasti akan mengelak dan tentu menolak. Alasannya sederhana, usia bukanlah “standard or qualification” pada sebuah “trust”
dalam menentukan sikap.
Perbincangan ini tentu tidak lahir begitu
saja. Akan tetapi di “backing” oleh
adanya rasa ingin tahu, penasaran, dan permintaan nasihat. Perbincangan yang
bisa jadi berawal dari semakin berkembangnya usia. Bagi sebagian besar kawula
muda, perbincangan ini seolah menjadi bahan cerita yang paling seru. Memang,
sebagai manusia yang normal dan waras akan bergelut dengan perbincangan ini.
“jika
ingin menikah, maka kamu harus punya banyak kesiapan. Kesiapan yang paling
sering ditanyakan oleh calon mertua dari perempuan adalah hartamu, apakah udah
punya pekerjaan tetap yang layak? Misal, Pegawai ?, entrepreneur tetap ?,
wiraswasta ?”.
“mau kasi makan apa anaknya orang ?”
Begitulah statement yang sempat terlontar dari bibir orang-orang terdekat
saya. Pernyataan yang sedikit mengalihkan perhatian. Pernyataan yang memberikan
“challenge” bagi diri. Okelah,
Pernyataan itu tidak salah, tidak keliru, apalagi berbahaya. Namun, tanpa
mengurangi rasa hormat saya, itu kurang tepat dan “berbobot”. Kurang paslah begitu. Memang, indikasi ungkapan yang
sering keluar seperti itu tidak lepas dari realitas yang sering terjadi.
Fenomena rumah tangga yang berlaku dalam kancah kehidupan bermasyarakat memang
patut untuk di perhatikan dan layak untuk diperbincangkan. Dinamika kehidupan
rumah tangga terkadang unik. Ada masa yang memilukan, mengharukan bahkan
menyedihkan. Beside that, ada juga
masa yang menyenangkan, menggembirakan, dan menceriakan. Sebagaimana kita sering mengalami gejolak persaudaraan
antara kakak dan adik. Kondisi seperti ini tentu tidak boleh dibiarkan begitu
saja, perlu adanya perhatian khusus dan terdapat penemuan solusi jitu untuk
menuntaskan semua ini. Jika jarak ikatan yang mengikat hubungan itu semakin
jauh, maka waspadalah terhadap bencana yang akan menimpa. Bisa jadi akan
terjadi perang yang tidak diharapkan.
“War on family”. Pendekatan yang
layak untuk dilakukan adalah pendekatan spiritual khususnya, pendekatan
emosional, dan pendekatan pemikiran.
Sebenarnya sederhana, coba kita simak
berikut ini.
Ada seseorang yang sudah memiliki pekerjaan
yang layak. Ia kerja sebagai pegawai di salah satu perkantoran. Penghasilannya
terbilang menjanjikan. Tak perlu diragukan lagi. Dengan kondisi seperti itu, ia
memantapkan diri untuk segera melangkah ke dunia khitbah alias pelamaran pada
salah seorang gadis cantik dan lumayan kaya. Si gadis dan calon mertuanya pun
sepakat untuk segera lanjut ke jalur kuning alias pernikahan. Tak lama, setelah
beberapa bulan berlalu. Berlabuhnya cinta kasih sudah semakin mekar bak bunga
mawar merah merekah di pagi hari. Di saat benih-benih cinta kasih begitu
mantap. Tak disangka, di luar dugaan, unbelieving. Perjalanan mesra itu berubah
menjadi perjalanan yang menyedihkan. Usut punya usut, ternyata kehidupan rumah
tangga mereka ditimpa oleh bencana ekonomi. Penghasilan yang selama ini menjadi
ajimat ampuh untuk menopang kehidupannya akhirnya pupus tak bersisa. Ia dipecat
oleh manajernya. Tak kuasa melihat penderitaan itu. Mereka terus berusaha
mencari lowongan pekerjaan. Namun, hasilnya belum memuaskan. Tidak ada satupun
pekerjaan yang layak untuk ia bekerja.
Apa hikmah yang bisa dimabil dari cerita di
atas ? jawabannya singkat. “rezeki itu di
tangan Allah”. Jaminan hidup kita akan perjalanan dalam sebuah rumah tangga
sangat tidak mutlak ditentukan oleh kita sendiri. Siapa yang bisa menjamin,
siapa yang tahu. Meski kita telah mantap dengan kesiapan itu, tapi tidaklah
menjamin semuanya. Hal ini, Bukannya pasrah atau tak berusaha. Namun,
selayaknya kita harus menyatukan antara keyakinan akan janji Allah dengan
usaha.
Persoalan tak ada kesiapan harta yang
menjanjikan tidaklah mengapa. Itu urusan lain yang bisa didiskusikan. Asalkan
kita punya roadmap hidup yang jelas,
insyaAllah ada jalan menuju roma. Betul khan? Mengapa kita harus takut dan
bimbang. Mengapa kita harus ragu. Mengapa kita harus resah.
Kesimpulannya, JAMINKANLAH HIDUPMU HANYA
KEPADA ALLAH SEMATA. Persembahan yang terbaik dalam hidupmu bukanlah saat kau
hidup. Tapi, persembahan terbaik itu ketika engkau mengakhiri hidupmu dengan SYAHID.
Beginilah prinsip seorang muslim muda yang cocok untuk menjadi calon
suami. Ia senantiasa yakin akan pertolongan Allah. Jika jiwa sudah oke untuk
meleburkan diri dalam mahligai cinta kasih, maka akan begitu mudah. Apalagi, ia
sudah punya kesiapan materi.
insyaAllah….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar