Kamis, 25 April 2013

APA JAMINAN HIDUPMU?




           Ada yang menarik dari perbincangan saya kepada umi saya, kakak-kakak saya, sebagian dari teman dekat saya. Mungkin, ini sedikit privacy oriented, tidak harus diceritakan kepada orang lain. Tapi, bukan juga yang harus disembunyikan. Ada “inspiration” yang bisa di ambil. Ada sedikit semangat baru, ada sedikit tantangan baru, bisa juga cobaan baru. Apa yang saya alami bisa jadi pernah Anda alami. Bisa jadi juga Anda malas tahu untuk diperlebar dan diperumit. Kalaupun tidak sama, paling tidak mendekati mirip.
          Apa yang membuat saya menemukan inspirasi baru termasuk semangat baru ini tidak lepas dari keyakinan mendalam. Keyakinan yang kuat, kokoh, dan mengakar. Sehingga tidak mudah dipatahkan, apalagi dimusnahkan. Semoga saja. Amin.
          Prinsip saya, Kalau keyakinan sudah menancap tajam dalam diri, kalau keyakinan itu menjadi paradigma berpikir, dan tolak ukur kehidupan maka yakinlah inilah yang terbaik dari ketidakjelasan dan penuh keraguan hidup kita. Dengan begitu, kegalauan hidup tidak akan bisa menimpa kita. kejelasan atas jawaban persoalan mengapa kita hidup, untuk apa kita hidup, termasuk mau ke mana setelah hidup akan membawa kehidupan ini menjadi cerah. Kita tidak akan menemukan kabut hitam yang gelap, suram dan penuh jebakan yang mengancam. Meski begitu, keterbatasan manusia tentu seakan mengurangi kelengkapan jalan hidup kita yang cerah itu. Banyak faktor X atau Y dan mungkin masih banyak lagi yang menimbulkan warna buram dalam hidup ini.
Sekali lagi, sedikit ingin ditekankan bahwa masalah yang ingin disampaikan ini mungkin terkesan lucu. Hal ini bagi diri pribadi. Bagi diri yang masih terbilang “baby face”alias “muda”. Namun, lagi-lagi bagi kita yang paham akan keyakinan itu pasti akan mengelak dan tentu menolak. Alasannya sederhana, usia bukanlah “standard or qualification” pada sebuah “trust” dalam menentukan sikap.
Perbincangan ini tentu tidak lahir begitu saja. Akan tetapi di “backing” oleh adanya rasa ingin tahu, penasaran, dan permintaan nasihat. Perbincangan yang bisa jadi berawal dari semakin berkembangnya usia. Bagi sebagian besar kawula muda, perbincangan ini seolah menjadi bahan cerita yang paling seru. Memang, sebagai manusia yang normal dan waras akan bergelut dengan perbincangan ini.
 “jika ingin menikah, maka kamu harus punya banyak kesiapan. Kesiapan yang paling sering ditanyakan oleh calon mertua dari perempuan adalah hartamu, apakah udah punya pekerjaan tetap yang layak? Misal, Pegawai ?, entrepreneur tetap ?, wiraswasta ?”.
“mau kasi makan apa anaknya orang ?”
Begitulah statement yang sempat terlontar dari bibir orang-orang terdekat saya. Pernyataan yang sedikit mengalihkan perhatian. Pernyataan yang memberikan “challenge” bagi diri. Okelah, Pernyataan itu tidak salah, tidak keliru, apalagi berbahaya. Namun, tanpa mengurangi rasa hormat saya, itu kurang tepat dan “berbobot”. Kurang paslah begitu. Memang, indikasi ungkapan yang sering keluar seperti itu tidak lepas dari realitas yang sering terjadi. Fenomena rumah tangga yang berlaku dalam kancah kehidupan bermasyarakat memang patut untuk di perhatikan dan layak untuk diperbincangkan. Dinamika kehidupan rumah tangga terkadang unik. Ada masa yang memilukan, mengharukan bahkan menyedihkan. Beside that, ada juga masa yang menyenangkan, menggembirakan, dan menceriakan. Sebagaimana kita sering mengalami gejolak persaudaraan antara kakak dan adik. Kondisi seperti ini tentu tidak boleh dibiarkan begitu saja, perlu adanya perhatian khusus dan terdapat penemuan solusi jitu untuk menuntaskan semua ini. Jika jarak ikatan yang mengikat hubungan itu semakin jauh, maka waspadalah terhadap bencana yang akan menimpa. Bisa jadi akan terjadi perang yang tidak diharapkan. “War on family”. Pendekatan yang layak untuk dilakukan adalah pendekatan spiritual khususnya, pendekatan emosional, dan pendekatan pemikiran.
Sebenarnya sederhana, coba kita simak berikut ini.
          Ada seseorang yang sudah memiliki pekerjaan yang layak. Ia kerja sebagai pegawai di salah satu perkantoran. Penghasilannya terbilang menjanjikan. Tak perlu diragukan lagi. Dengan kondisi seperti itu, ia memantapkan diri untuk segera melangkah ke dunia khitbah alias pelamaran pada salah seorang gadis cantik dan lumayan kaya. Si gadis dan calon mertuanya pun sepakat untuk segera lanjut ke jalur kuning alias pernikahan. Tak lama, setelah beberapa bulan berlalu. Berlabuhnya cinta kasih sudah semakin mekar bak bunga mawar merah merekah di pagi hari. Di saat benih-benih cinta kasih begitu mantap. Tak disangka, di luar dugaan, unbelieving. Perjalanan mesra itu berubah menjadi perjalanan yang menyedihkan. Usut punya usut, ternyata kehidupan rumah tangga mereka ditimpa oleh bencana ekonomi. Penghasilan yang selama ini menjadi ajimat ampuh untuk menopang kehidupannya akhirnya pupus tak bersisa. Ia dipecat oleh manajernya. Tak kuasa melihat penderitaan itu. Mereka terus berusaha mencari lowongan pekerjaan. Namun, hasilnya belum memuaskan. Tidak ada satupun pekerjaan yang layak untuk ia bekerja.
Apa hikmah yang bisa dimabil dari cerita di atas ? jawabannya singkat. “rezeki itu di tangan Allah”. Jaminan hidup kita akan perjalanan dalam sebuah rumah tangga sangat tidak mutlak ditentukan oleh kita sendiri. Siapa yang bisa menjamin, siapa yang tahu. Meski kita telah mantap dengan kesiapan itu, tapi tidaklah menjamin semuanya. Hal ini, Bukannya pasrah atau tak berusaha. Namun, selayaknya kita harus menyatukan antara keyakinan akan janji Allah dengan usaha.
Persoalan tak ada kesiapan harta yang menjanjikan tidaklah mengapa. Itu urusan lain yang bisa didiskusikan. Asalkan kita punya roadmap hidup yang jelas, insyaAllah ada jalan menuju roma. Betul khan? Mengapa kita harus takut dan bimbang. Mengapa kita harus ragu. Mengapa kita harus resah.
Kesimpulannya, JAMINKANLAH HIDUPMU HANYA KEPADA ALLAH SEMATA. Persembahan yang terbaik dalam hidupmu bukanlah saat kau hidup. Tapi, persembahan terbaik itu ketika engkau mengakhiri hidupmu dengan SYAHID.  Beginilah prinsip seorang muslim muda yang cocok untuk menjadi calon suami. Ia senantiasa yakin akan pertolongan Allah. Jika jiwa sudah oke untuk meleburkan diri dalam mahligai cinta kasih, maka akan begitu mudah. Apalagi, ia sudah punya kesiapan materi.
insyaAllah….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar